Rabu, 10 Desember 2008

Junk TV, No!!!

Oleh. Drs. Harun Musa

Direktur Airlangga Broadcast Education, Dosen Entrepreneur dan Komunikasi

Sungguh menarik menyimak keprihatinan KH Salahuddin Wahid, sebagaimana yang dilansir Republika (Jumat, 21/9/07). Di situ Gus Solah menyatakan bahwa motif bisnis tayangan Ramadhan hanya merusak puasa. Hura-hura dan kuis berbau judi masih mendominasi dan belum mengarah pada upaya meningkatkan nilai puasa. Umumnya, televisi masih melihat Ramadhan lebih sebagai peluang bisnis.

Masyarakat pemirsa televisi saat ini, umumnya sedang terkena sihir informasi media siaran TeleVisi yang begitu menggoda dan menghibur, tetapi belum tentu mendidik dan mencerahkan. Bahkan, sangat boleh jadi, TeleVisi dengan kemasan program acaranya saat ini, telah terposisikan sebagai 'agama baru' masyarakat Indonesia. Di antara alasan menjadikan TeleVisi sebagai agama baru adalah karena TV telah cenderung mengambil alih sejumlah ciri dan fungsi sebuah agama, berikut seperti :

Pertama, TeleVisi telah menjadi sesuatu yang sangat dipentingkan dan diutamakan. Nilai pentingnya sebuah TeleVisi dalam rumah tangga telah menjadi kebutuhan dasar secara berjamaah, sebagaiman layaknya sebuah agama. Di samping itu, TV tidak hanya sebagai kebutuhan dasar, tapi telah menjadi simbol prestise, sekaligus aksesori utama.

Kedua, sebagai 'agama baru', TeleVisi dengan program acaranya juga sudah dapat mengatur jadwal seseorang menjadi kegiatan yang bersifat rutin dalam sehari semalam, sebagaimana layaknya kewajiban beribadah secara rutin dari sebuah ajaran agama. Tengoklah, bagaimana para pemirsa mengikuti siaran langsung sepak bola dunia pada dini hari. Mereka rela begadang semalaman dan pada akhirnya kerap meninggalkan kewajiban agama berupa shalat shubuh. Dengan kata lain, saat itu, mereka telah melakukan 'perpindahan' agama.

Ketiga, jika agama mempunyai penyeru yang oleh pengikutnya dijadikan idola dan panutan, maka saat ini pun, TV sudah memiliki ciri tersebut. TeleVisi telah melahirkan sejumlah 'nabi' baru, berikut ajarannya, yang kemudian dengan setia diikuti secara fanatik oleh sejumlah pengikutnya. Umumnya, pengikut ajaran 'agama baru' dari TV tersebut, telah menganut agama formal sesuai yang tercantum di KTP secara turun-temurun. Dengan demikian, sangat boleh jadi mereka telah mempraktikkan secara berbaur kedua ajaran tersebut. Namun, saat jadwal keduanya bertabrakan dan harus memilih salah satunya, maka yang paling sering memenangkannya adalah 'ajaran agama' yang diperkenalkan oleh TeleVisi.

Memang televisi adalah media yang potensial sekali tidak saja untuk menyampaikan informasi tetapi juga membentuk perilaku seseorang, baik ke arah positif maupun negatif, disengaja ataupun tidak. Sebagai media audio vsiual, TV mampu merebut 94 % saluran masuknya pesan-pesan atau informasi ke dalam jiwa manusia yaitu lewat mata dan telinga. Televisi mampu untuk membuat orang pada umumnya mengingat 50 % dari apa yang mereka lihat dan dengar di layar televisi walaupun hanya sekali ditayangkan. Atau, secara umum orang akan ingat 85 % dari apa yang mereka lihat di TV, setelah 3 jam kemudian dan 65 % setelah 3 hari kemudian. (Dwyer, 1983)

Televisi adalah jendela dunia di rumah kita yang tidak aman sama sekali. Anggota kelompok sosial yang kita sebut keluarga "bertambah" dengan hadirnya tokoh-tokoh lain dari luar rumah, luar kota, luar propinsi bahkan luar negeri. Rata – rata anak muda berusia 18 tahun, telah menonton TeleVisi 22.000 jam, 21 – 23 jam per minggu. Sementara, mereka hanya 12.000 jam di bangku sekolah sampai tingkat SLTA. Lain dari pada itu, sebagai gambaran singkat, satu tahun tayangan TeleVisi terdapat sekitar 180 judul sinetron dengan 3.641 episode dan 4.020 jam tayang. Kesemuanya, hanya menggambarkan tema di seputar seks, kekerasan dan mistik, serta glamournya kehidupan elite kota. Model perilaku dan tokoh identifikasi diri semakin banyak ditawarkan kepada kita dan keluarga kita. TeleVisi seringkali "diam-diam" mengajari, memberi contoh model-model perilaku tertentu dan selanjutnya (sengaja ataupun tidak) mengajak anggota keluarga kita untuk menirunya.

Stasiun televisi di Indonesia terus bertambah jumlahnya. Saat ini, lain TV nasional, TV lokal saja telah menembus 139 stasiun. Jumlah ini masih terus berkembang seiring pembukaan loket perizinan di berbagai daerah. Seperti Jawa Timur, jumlah TV lokal kini menembus 40 stasiun. (Surochiem Abdus Salam, Komisioner KPID Jatim, 12/09/2008).

Fenomena di atas merupakan tantangan bagi kita semua khususnya broadcaster muda. Di saat jumlah stasiun televisi terus bertambah, mampukah kita menghadirkan tayangan yang mencerdaskan sekaligus mencerahkan? Tantangan ini adalah tantangan bagi kita semua para broadcaster, insan pertelevisian. Semoga pendidikan yang telah kalian tempuh dengan pola learning by doing, membuat atsar, membuat jejak bagi kalian untuk berkarya yang berestetika & beretika. Serta mendorong kalian untuk terus belajar, bersikap open mind, senantiasa mengasah diri. Kalian menghasilkan karya yang tidak hanya mengeksploitasi nafsu estetika, tapi penuh muatan-muatan etika. Karya-karya yang mencerdaskan sekaligus mencerahkan. Dengan demikian, melalui karya dan kiprah kalian, para broadcaster muda, kalian menjadi motor, menjadi stimulator, menjadi faktor kontribusi perubahan bangsa kita ini ke arah yang lebih baik, bangsa yang lebih berdaya, bangsa yang lebih terhormat, bangsa yang lebih bermartabat. Lebih dari itu, Saudara, semoga karya-karya kalian yang estetis dan penuh muatan nilai-nilai etika juga menjadi investasi kalian saat menghadap Allah, Tuhan Yang Mengusai alam raya ini.

So, selamat tinggal tayangan tidak bermutu, selamat tinggal Junk TV!!!!

Selamat berkarya para broadcaster muda.....

Maju & jayalah pertelevisian Indonesia ......

(Disampaikan pada Wisuda ke-2 P3TV – FBS UNESA 2008)

Tidak ada komentar: